Rejeki (2)

Seseorang mengeluh tentang suaminya yang tidak pintar mencari rejeki. Dia bercerita berapi-api penuh emosi tentang suaminya yang usahanya sedang tidak lancar dan tidak mau mencoba usaha lain karena satu dan lain hal. Padahal dia dan keluarganya butuh mempertahankan terus tegaknya badan dan harga diri. Harga diri untuk tidak dikasihani orang lain, harga diri untuk tidak berhutang kepada orang lain, harga diri untuk tidak dikejar-kejar deadline pembayaran ini dan itu. Sang suami bertahan dengan prinsipnya yang tidak bisa diganggu gugat...masih ada yang bisa dijual. Kita beli ini dan itu memang untuk dicadangkan ketika Tuhan sedang meminta kita berperan di episode keterpurukan usaha. Sang istri berfikiran tak sama. Kalau kita bisa menghasilkan rejeki tanpa menjual ini dan itu, kenapa itu tidak diusahakan. Bukankah ini dan itu bisa digunakan ketika mereka benar-benar membutuhkan dan jiwa raga mereka sudah tidak mampu lagi menjemput rejeki Tuhan?

Teman yang diajak berkeluh kesah tertawa lepas dan menohok eksistensi sudut pandangnya. "Buat apa tho Mbak, pusing memikirkan suami kita kerja atau tidak. Kalau kita sudah memberi wawasan dan memang 'gawan bayi' dia bersikukuh dengan prinsipnya, ya sudah, diterima saja dengan ikhlas. Kita tidak bisa mengatur dan mengontrol orang lain...Kalau suami tidak mau usaha lain, ya Mbak yang harus tandang, kalau memang sayang untuk menjual potensi rejeki yang kalian punya. Mbak bisa jualan, kerja di orang lain, atau lakukan apa pun asal halal..Tuhan itu melihat usaha kita...Mosok iya Tuhan tidak mau memberi rejeki kepada orang yang sudah berusaha. Mosok iya Tuhan tidak 'melas' sama kita..Energi kita habis untuk memikirkan suami kita...lebih baik legowo, dan lakukan apa yang kita bisa."

Ternyata bisa 'legowo' dan 'enteng' mengerjakan sesuatu yang sebenarnya bukan tanggung jawab kita adalah sebuah 'rejeki' yang tidak semua orang mendapatkan anugrah untuk bisa menjalaninya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KKM

Rejeki

KKM (2)